Hendrizon, SH., MH.
Wartawan Muda


Hukum pidana di Indonesia pada dasarnya masih banyak dipengaruhi paradigma retributif, yaitu penghukuman sebagai bentuk pembalasan atas perbuatan pelaku. Paradigma ini kerap menimbulkan persoalan, antara lain penumpukan perkara di pengadilan, overkapasitas lembaga pemasyarakatan, dan kurangnya perhatian pada kepentingan korban. Oleh karena itu, diperlukan terobosan baru berupa Restorative Justice (RJ) atau keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana.


Pengertian Restorative Justice


Restorative Justice adalah penyelesaian perkara pidana dengan menekankan pada pemulihan keadaan semula, bukan semata-mata penghukuman terhadap pelaku. Konsep ini menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat dalam posisi aktif untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil, seperti melalui perdamaian, ganti kerugian, atau bentuk kesepakatan lainnya.


Dasar Hukum Restorative Justice di Indonesia


Penerapan RJ di Indonesia telah mendapat legitimasi hukum, antara lain:


1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mengatur diversi berdasarkan keadilan restoratif.


2. Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.


3. Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.


4. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2012 tentang Batasan Tindak Pidana Ringan.


Syarat dan Batasan Penerapan


Penerapan RJ hanya dapat dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain:


Tindak pidana yang dilakukan termasuk kategori ringan dengan ancaman pidana di bawah lima tahun.


Bukan merupakan tindak pidana serius seperti narkotika, korupsi, terorisme, atau pelanggaran HAM berat.


Adanya kesepakatan perdamaian antara pelaku dan korban.


Pelaku mengakui perbuatannya serta bersedia memperbaiki akibat dari tindak pidana yang dilakukan.


Manfaat Restorative Justice


1. Bagi korban: memperoleh pemulihan dan kepastian ganti kerugian.


2. Bagi pelaku: menghindari stigma negatif berlebihan serta memberi kesempatan memperbaiki diri.


3. Bagi masyarakat: menciptakan harmoni sosial dan mencegah konflik berkelanjutan.


4. Bagi negara: mengurangi beban perkara di pengadilan dan menekan overkapasitas lembaga pemasyarakatan.


Kritik dan Tantangan


Meski memberikan terobosan positif, penerapan RJ di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, antara lain:


Potensi penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.


Adanya kemungkinan korban ditekan untuk menerima perdamaian.


Belum adanya standar baku yang seragam di seluruh institusi penegak hukum.


Perlunya pengawasan agar RJ benar-benar berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar formalitas administrasi.


Penutup


Restorative Justice merupakan instrumen penting dalam pembaruan hukum pidana Indonesia. Dengan penerapan yang konsisten dan berkeadilan, RJ mampu menghadirkan sistem hukum pidana yang lebih humanis, menekankan pemulihan, serta tetap menjamin kepastian hukum.


Catatan Kaki


1. Lihat Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994), hlm. 85.


2. Pasal 1 angka 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


3. Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.


4. Surat Edaran Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.


5. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.


6. Lihat Pasal 5 ayat (1) huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021.

(***)

 
Top